Tidaklah cukup engkau menghafal Al-Qur'an dan menghafal beberapa hadits Rasulullah yang ringan (dalam menghafal) tanpa dibarengi dengan pemahaman. Maka mau tidak mau engkau harus memahami sesuai dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Betapa banyak terjadi kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang. Mereka berdalil dengan nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah) tidak dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya sehingga muncul kesesatan.
Di sini saya ingin menegaskan suatu poin penting, yaitu bahwa kesalahan dalam pemahaman boleh jadi jauh lebih berbahaya dibandingkan kesalahan karena kejahilan (kebodohan). Sebab orang yang berbuat salah lantaran kebodohan dia akan sadar bahwa dia bodoh sehingga dia akan belajar.
Tetapi orang yang pemahamannya salah dia meyakini bahwa dirinya adalah orang pandai yang mencocoki kebenaran. Dia meyakini bahwa inilah yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Kami akan sajikan beberapa contoh agar jelas bagi kila tentang pentingnya pemahaman.
Contoh pertama:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surat Al-Anbiya' ayat 78-79,
Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutamakan Sulaiman di atas Dawud dalam perkara ini karena pemahaman yang beliau miliki.
"Maka kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman." Tetapi tidak ditemukan kekurangan ilmu (yang dimiliki) Dawud.
"Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu."
Perhatikanlah ayat yang mulia ini tatkala Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Sulaiman yaitu berupa pemahaman. Allah juga menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Dawud dalam Firman-Nya, "Dan Kami telah tundukkan gunung-gunung, semua bertasbih kepada Dawud."
Penyebutan tersebut bermaksud agar terwujud keseimbangan (dari segi keistimewaan atau keutamaan) dari tiap Nabi tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan hukum dan keilmuan yang dimiliki oleh keduanya.
Kemudian Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki masing-masing dibanding yang lainnya. Perkara tersebut menunjukkan kepada kita betapa pemahaman memiliki kedudukan yang sangat urgen dan bahwa ilmu bukanlah segalanya.
Contoh kedua:
Apabila engkau memiliki dua bejana, salah satu berisi air hangat sedangkan bejana lain berisi air dingin membeku. Saat itu musim dingin. Lalu datanglah seorang lelaki yang ingin mandi janabat (mandi besar). Ada sebagian orang berkata, yang lebih utama adalah engkau memakai air dingin sebab memakai air dingin terdapat kesulitan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Maksudnya adalah menyempurnakan wudhu pada musim dingin. Apabila engkau telah menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih utama daripada wudhu dengan air hangat, yang sesuai dengan keadaan cuaca.
Seseorang telah berfatwa bahwa menggunakan air dingin lebih utama. Dia berdalil dengan hadits di atas. Apakah kesalahan tersebut terletak pada ilmunya ataukah pada pemahamannya? Jawabannya, kesalahan itu terjadi pada pemahaman karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Maksudnya, dinginnya air tidak menghalangi seseorang untuk menyempurnakan wudhu. Selanjutnya kita katakan, "Apakah Allah menghendaki kemudahan atau kesulitan bagi hamba-Nya?" Jawabannya terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
Dan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
Saya katakan kepada penuntut ilmu, sesungguhnya perkara pemahaman ini sangat penting. Kita wajib memahami apa yang Allah kehendaki dari para hambanya. Apakah Allah hendak menyulitkan hamba-hamba-Nya dalam pelaksanaan ritual ibadah ataukah Allah menghendaki kemudahan bagi mereka?! Tidak disangsikan lagi bahwa Allah ‘Azza wa jalla menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi kita.
Inilah sebagian adab santun dalam menuntut ilmu. Adab-adab Ini seyogyanya bisa memberikan pengaruh bagi ilmu yang dimiliki seorang pelajar sehingga ia menjadi qudwah (teladan) yang baik dan menjadi da'i yang mengajak kepada kebaikan dan bisa menjadi contoh dalam agama Allah ‘Azza wa jalla. Dengan kesabaran dan keyakinan engkau akan meraih keimaman (kepemimpinan) dalam agama ini. Sebagaimana Firman Allah ‘Azza wa jalla,
Footnote:
19 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: Ad-Dinu Yusrun.
0 komentar:
Posting Komentar