Menjadi pembela bagimu jika engkau mengamalkannya. Demikian pula pengamalan hadits Nabi yang shahih dilakukan dengan cara membenarkan berita dan menjalankan hukum-hukumnya.
Jika datang berita dari Allah dan Rasul-Nya maka benarkan dan ambillah dengan penerimaan dan kepatuhan. Janganlah engkau katakan kenapa begini atau bagaimana ini? Sebab cara penyikapan seperti itu bukan jalan orang-orang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menceritakan kepada shahabatnya beberapa perkara yang merupakan sesuatu yang aneh dan jauh dari pemahaman mereka. Tetapi mereka tetap menerimanya. Mereka tidak berkomentar kenapa atau bagaimana? Berbeda dengan penyikapan yang dilakukan orang-orang belakangan dari umat ini.
Kita dapati salah seorang dari mereka jika diberitakan sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam akalnya merasa bingung lalu kita temui orang tersebut mengemukakan berbagai alternatif yang diharapkan dapat menghilangkan kebingungannya. Dia menunjukkan keberatannya dan sebaliknya tidak berusaha mencari kejelasan. Oleh karena itu dia akan terhalang dari taufiq Allah, walau telah disampaikan hadits Rasulullah kepadanya. la enggan menerima dan tunduk pada hadits tersebut. Saya akan membawakan sebuah contoh tentang hal tersebut.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah menuturkan hadits tersebut. Hadits itu masyhur bahkan mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Tiada seorang shahabat pun yang angkat bicara dan bertanya, wahai Rasulullah bagaimana Allah turun? Apakah Arsy-Nya akan kosong ataukah tidak? Dan lain sebagainya. Namun kita dapati sebagian orang memperbincangkan perkara semacam ini, bagaimana Allah di atas Arsy-Nya sedangkan Dia turun ke langit dunia? Dan lontaran-lontaran serupa yang mereka kemukakan.
Andai saja mereka mau menerima hadits ini lantas mereka mengatakan, Allah ‘Azza wa Jalla bersemayam di atas Arsy-Nya. Sifat ketinggian termasuk keharusan dari Dzat-Nya. Allah turun sebagaimana yang Dia subhanahu wa ta’ala kehendaki. Tentunya syubhat-syubhat tersebut akan tersingkirkan dari diri mereka. Mereka tidak lagi merasa bingung dengan perkara-perkara yang diberitakan Nabi dari Rabb-nya.
Jika demikian halnya maka kita wajib menerima berita-berita ghaib dari Allah dan Rasul-Nya dengan ketundukan dan kepasrahan. Kita pun tidak menyangkalnya dengan apa yang terlintas dalam benak kita baik dari hal yang bisa dirasakan oleh panca indera atau dengan perkara yang pernah kita lihat. Sebab perkara yang ghaib berada di atas semua itu.
Contoh dalam masalah tersebut banyak sekali dan saya tidak ingin memperpanjangnya. Sikap seorang mukmin terhadap hadits-hadits ini hanyalah menerima dan tunduk dan mengatakan Maha Benar Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah beritakan dalam firman-Nya,
Aqidah (kita) wajib dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Hendaknya manusia mengetahui bahwa tiada tempat bagi akal dalam hal tersebut. Saya tidak mengatakan tidak ada jalan masuk bagi akal dalam masalah tersebut. Saya hanya mengatakan tidak ada tempat bagi akal dalam masalah tersebut. Sebab apa yang disebuikan oleh nash-nash tentang kesempurnaan Allah adalah sesuatu yang dipersaksikan (diterima) oleh akal. Walaupun akal manusia tidak akan sanggup memahami rincian kesempurnaan Allah. Namun akal bisa memahami bahwa Allah pemilik segala kesempurnaan. Maka mengamalkan ilmu aqidah yang telah Allah karuniakan adalah suatu keharusan. Demikian pula dari segi peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana kebanyakan kita telah mengetahui bahwa ibadah dibangun di atas 2 prinsip dasar:
1. Ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Oleh karena itu setiap orang (harus) membangun amalnya di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tidak merekayasa bid'ah dalam agama Allah, baik dari asal muasal ibadah tersebut maupun dalam sifatnya. Oleh karena itu kita katakan bahwa suatu amalan ibadah harus ditentukan oleh syari'at baik dalam bentuk, tempat, waktu maupun sebabnya. Ibadah harus benar-benar ditentukan oleh syari'at dalam perkara-perkara ini seluruhnya. Jika ada orang menetapkan sebuah sebab untuk beribadah kepada Allah tanpa dilandasi dalil maka kita akan membantahnya dan kita katakan amalan ini tidak diterima. Karena dia harus menetapkan bahwa sebab itu berasal dari ibadah tersebut.
Seandainya seseorang mensyari'atkan suatu bentuk peribadatan yang tidak pernah ditentukan oleh syari'at atau mendatangkan sesuatu yang ada pada syari'at namun dengan bentuk yang ia rekayasa sendiri ataupun dengan waktu yang ia tentukan sendiri, kita katakan bahwa ibadah tersebut akan tertolak. Sebab ibadah harus dibangun di atas ajaran syari'at. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari ilmu yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ajarkan padamu. Janganlah engkau beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala melainkan dengan ajaran yang telah disyari'atkan-Nya. Para ulama mengungkapkan:
Mereka berdalil pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang tsabit dalam Ash Shahih (riwayat Muslim) dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Walaupun engkau ikhlas (ketika mengerjakannya) dan engkau ingin agar ibadah tersebut sampai kepada Allah dan engkau ingin sampai pula pada kemuliaan-Nya, akan tetapi jika hal itu dilakukan dengan cara yang tidak disyari'atkan maka amalan itu akan tertolak. Jika engkau menghendaki untuk sampai kepada Allah dari jaian yang tidak Allah tentukan sebagai jalan pengantar kepada-Nya, maka amalan itu tertolak.
Jika demikian, maka seorang penuntut ilmu wajib untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan syari'at yang telah diajarkan oleh Allah tanpa menambah dan mengurangi. Dia tidak mengatakan, "Sesungguhnya perkara yang ingin saya tunaikan untuk beribadah kepada Allah adalah hal yang cocok bagi jiwaku, tenang bagi hatiku dan lapang bagi dadaku." Dia tidak mengatakan ungkapan seperti itu, walaupun kenyataannya memang terjadi. Hendaklah ia menimbang amalan tersebut dengan timbangan syari'at. Jika Al-Qur'an dan As-Sunnah telah mengakuinya, maka ia wajib untuk menerima dengan mata dan kepalanya (mendengar dan mentaati). Jika tidak, maka amalan buruk telah diperindah bagi orang itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Seorang penuntut ilmu juga harus mengaplikasikan ilmunya dalam perkara akhlak dan pola interaksi dengan sesama. Ilmu syari'at mengajak kepada semua budi pekerti yang iuhur, baik berupa sifat jujur, menepati janji dan cinta kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda,
Banyak manusia yang memiliki ghirah (semangat) dan cinta kepada kebaikan, namun mereka berinteraksi dengan orang lain dengan akhlak yang tidak baik. Kita jumpai orang itu mempunyai perangai yang keras dan kasar, termasuk ketika berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita dapati orang tersebut menggunakan cara-cara yang kasar dan keras.
Perilaku ini menyalahi akhlak yang diperintahkan Allah. Ketahuilah bahwa akhlak yang baik tergolong bentuk amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang paling pantas mengikuti Nabi dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Nabi adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
Footnote:
5 HR. Al-Bukhari dalam Kitabut Tahajud Bab: Ad-Du’a wash Shalat minal Lail dan Muslim dalam Kitabus Shalatil Musafirin Bab: At-Targhib fi Du’a wadz Dzikri fi Akhiri Lail.
6 HR. Muslim dalam Kitabul Aqdiyah Bab: Taqdhul Ahkamil Bathilah wa Raddu Muhdatsatil Umur.
7 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: An-Yuhibba li Akhihi ma Yuhibbu li Nafsihi dan Muslim Kitabul Iman Bab: Ad-Dalil ‘ala Anna min Khishalil Imani An-Yuhibba li Akhihi ma Yuhibbu li Nafsihi minl Khairi.
8 Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Al-Imaroh Bab: Al-Amru bil Wafa 'ibi Bai'atil Khulafail Awali fal Awali.
Nashnya berbunyi: Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
"Tiada seorang Nabi pun sebelumku melainkan dia akan menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang dia ketahui, dan memberi peringatan kepada mereka dari kejelekan. Sesungguhnya pada umat ini akan selamat generasi awalnya dan musibah akan menimpa generasi akhirnya dan berbagai perkara yang akan kalian ingkari dan akan datang berbagai fitnah yang sebagian melumatkan sebagian yang lainnya, dan akan datang fitnah lalu seorang yang mukmin berkata: "Inilah kebinasaanku." Kemudian tampaklah fitnah tersebut. Lalu datanglah fitnah itu maka seorang mukmin berkata: "Inilah, inilah." Barangsiapa yang cinta untuk dijauhkan dari api neraka dan masuk ke dalam surga, maka hendaklah ajal menjemputnya sedangkan ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Dan hendaklah melakukan perkara yang disukai orang lain sebagaimana diapun menyukai bila perbuatan itu dilakukan terhadapnya, Barangsiapa membai'at seorang pemimpin, lalu ia memberikan bai'at dengan sepenuh hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sekuat tenaga (sesuai dengan kesanggupannya). Dan jika datang (pemimpin) yang lain (minta dibai’at) maka penggallah leher orang itu.”
9 HR. At-Tirmidzi dalam Kitabul Birri wa Shilah Bab: Ma Jaafi Ma 'alil Akhlaq dan Ahmad dengan lafadz: "Seungguhnya orang yang aku sukai adalah yang paling bagus akhlaknya." Juz 2 hal. 189, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah juz 12 hal. 366, Al-Haitsami dalam Majma‘uz Zawaid, dia berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani, para perawinya shahih.
0 komentar:
Posting Komentar