English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pernahkan Anda tersesat di belantara dunia maya? Mungkin Anda akan menjawab, "Seringkali," atau bahkan, "Saya selalu tersesat."

Dunia maya adalah dunia tanpa tapal batas. Sekali Anda mengetikkan satu kata kunci (misal: Islam) ke dalam mesin pencari (Google, misalnya), maka Anda akan dibawa kepada ratusan ribu, jutaan, bahkan puluhan juta hasil pencarian. Itu semua adalah informasi yang berserakan di dunia maya, informasi yang shahih dan terpercaya bercampur dalam perangkap informasi-informasi yang menyesatkan, bagaimana Anda memilahnya?

Yufid.com, dengan pertolongan Allah, mencoba memberikan satu solusi terhadap permasalahan yang kami gambarkan di atas. Berbagai website Islam dalam 3 bahasa (Indonesia, Inggris, dan Arab) kami kumpulkan, kami periksa dan kami sortir satu per satu, kemudian kami susun dan masukkan ke dalam teknologi mesin pencari Google yang sangat canggih. Hasilnya bisa Anda lihat di Yufid.com. Cobalah dan rasakan manfaatnya.

Yufid.com pada tahapan awal ini memberikan hasil pencarian khusus konten teks dalam 3 bahasa (Indonesia, Inggris, dan Arab). Silakan pilih menu bahasa untuk hasil pencarian sesuai dengan bahasa yang Anda inginkan. Tahap selanjutnya, insya Allah kami akan terus mengembangkan Yufid.com untuk hasil pencarian yang lebih luas lagi (misal: video, audio, gambar, dll).

Ilmu-Ilmu Pengetahuan Bermanfaat dari Sumber Terpercaya

Senin, 10 Desember 2012

Adab Tidur dan Bangun


  1.Berintrospeksi diri (muhasabah) sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, mengevaluasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhanahu wata'ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.
  2.Tidur dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallahu'anha "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tidur pada awal malam dan bangun pada pengujung malam, lalu beliau melakukan shalat".(Muttafaq `alaih)
3.    Disunnatkan berwudhu' sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al- Bara' bin `Azib Radhiallahu'anhu menuturkan : Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu'lah sebagaimana wudlu' untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan..." Dan tidak mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya.
4.    Disunnatkan pula mengibaskan sperei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya..." Di dalam satu riwayat dikatakan: "tiga kali". (Muttafaq `alaih).
5.    Makruh tidur tengkurap. Abu Dzar Radhiallahu'anhu menuturkan :"Nabi Shallallahu'alaihi wasallam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi Shallallahu'alaihi wasallam membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda :"Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka". (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
6.    Makruh tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda: "Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya". (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
7.    Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir ra diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda: "Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman". (Muttafaq'alaih).
8.    Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut.
9.    Membaca do`a-do`a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, seperti : Allaahumma qinii yauma tab'atsu 'ibaadaka. "Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu". Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani)
10.    Dan membaca: Bismika Allahumma Amuutu Wa ahya. "Dengan menyebut nama- Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup." (HR. Al Bukhari)
11.    Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini : "A'uudzu bikalimaatillaahit taammati min ghadhabihi Wa syarri 'ibaadihi, wa min hamazaatisy syayaathiini wa an yahdhuruuna." Artinya, "Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku". (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)
12.    Hendaknya apabila bangun tidur membaca : "Alhamdu Lillahilladzii Ahyaanaa ba'da maa Amaatanaa wa ilaihinnusyuur" Artinya, "Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan." (HR. Al-Bukhari)



Al Qismu Al Ilmi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
______________________________________________
Link terkait:
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abullah bin Baaz

Adab Minta Izin


  1.    Hendaknya orang yang akan meminta izin memilih waktu yang tepat untuk minta izin.
  2.    Hendaknya orang yang akan minta izin mengetuk pintu rumah orang yang akan dikunjunginya secara pelan. Anas Radhiallaahu 'anhu meriwayatkan bahwasanya ia telah berkata: Sesung-guhnya pintu-pintu kediaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam diketuk (oleh para tamunya) dengan ujung kuku". (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
3.    Hendaknya orang yang mengetuk pintu tidak menghadap ke pintu yang diketuk, tetapi sebaiknya menolehkan pandangannya ke kanan atau ke kiri agar pandangan tidak terjatuh kepada sesuatu di dalam rumah tersebut yang dimana penghuni rumah tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Karena minta izin itu sebenarnya dianjurkan untuk menjaga pandangan.
4.    Sebelum minta izin hendaknya memberi salam terlebih dahulu. Rib`iy berkata: Telah bercerita kepada saya seorang lelaki dari Bani `Amir, bahwasanya ia pernah minta izin kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam di saat beliau ada di suatu rumah. Orang itu berkata: Bolehkah saya masuk? Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya: "Jumpailah orang itu dan ajari dia cara minta izin, dan katakan kepadanya: Ucapkan Assalamu `alaikum, bolehkah saya masuk?". (HR. Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
5.    Minta izin itu sampai tiga kali, jika sesudah tiga kali tidak ada jawaban maka hendaknya pulang. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu minta izin sudah tiga kali, lalu tidak diberi izin, maka hendaklah ia pulang". (Muttafaq'alaih).
6.    Apabila orang yang minta izin itu ditanya tentang namanya, maka hendaklah ia menyebutkan nama dan panggilannya, dan jangan mengatakan: "Saya". Jabir Radhiallaahu 'anhu menuturkan: "Aku pernah datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk menanyakan hutang yang ada pada ayah saya. Maka aku ketuk pintu (rumah Nabi). Lalu Nabi berkata: "Siapa itu?". Maka aku jawab: Saya. Maka Nabi berkata: "Saya! Saya!" dengan nada tidak suka." (Muttafaq'alaih).
7.    Hendaknya peminta izin pulang apabila permintaan izinnya ditolak, karena Allah telah berfirman yang artinya: "Dan jika dikatakan kepada kamu "pulang", maka pulanglah kamu, karena yang demikian itu lebih suci bagi kamu". (An-Nur: 28).
8.    Hendaknya peminta izin tidak memasuki rumah apabila tidak ada orangnya, karena hal tersebut merupakan perbuatan melampaui hak orang lain.


Al Qismu Al Ilmi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
______________________________________________
Link terkait:
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abullah bin Baaz

Adab Memberi Salam



  1.    Makruh memberi salam dengan ucapan: "Alaikumus salam" karena di dalam hadits Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku berkata: "Alaikas salam ya Rasulallah". Nabi menjawab: "Jangan kamu mengatakan: Alaikas salam". Di dalam riwayat Abu Daud disebutkan: "karena sesungguhnya ucapan "alaikas salam" itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati". (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
  2.    Dianjurkan mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali" (HR. Al- Bukhari).
3.    Termasuk sunnah adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaq'alaih.
4.    Disunnatkan keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-Aswad disebutkan di antaranya: "dan kami pun memerah susu (binatang ternak) hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian untuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun datang di malam hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang bangun".(HR. Muslim).
5.    Disunatkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: "Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua. (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani).
6.    Disunnatkan memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu kosong, karena Allah telah berfirman yang artinya: "Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian" (An-Nur: 61)
7.    Dan karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : "Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan : Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin" (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).
8.    Dimakruhkan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), karena hadits Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma yang menyebutkan "Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya". (HR. Muslim)
9.    Disunnatkan memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak ia memberi salam, dan ia mengatakan: "Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam". (Muttafaq'alaih).
10.    Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :" Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani....." (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan "wa `alaikum" saja, karena sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Apabila Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum".(Muttafaq'alaih).
11.    Disunnatkan memberi salam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal". (Muttafaq'alaih).
12.    Disunnatkan menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam untukmu. Maka Nabi menjawab : "`alaika wa`ala abikas salam"
13.    Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian memberi salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam mereka memakai isyarat dengan tangan". (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
14.    Disunnatkan kepada seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah mengatakan: "Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah" (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
15.    Dianjurkan tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat tangan sebelum orang yang dijabat tangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya...." (HR. At- Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
16.    Haram hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Tidak". Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan menciumnya? Jawab nabi: Tidak. Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan dengannya? Jawab Nabi: Ya, jika ia mau. (HR. At-Turmudzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
17.    Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau bersabda: "Sesung-guhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita". (HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani). 


Al Qismu Al Ilmi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
______________________________________________
Link terkait:
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abullah bin Baaz

Adab di Jalanan



  1.    Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena takabbur. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18)
  2.    Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Katakanlah kepada orang laki- laki beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...." (An-Nur: 30-31).
3.    Tidak mengganggu, yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia, dan tidak buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan tempat mereka bernaung.
4.    Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk surga. Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika ada seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan tersebut, lalu orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya..." Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah memasukkannya ke surga". (Muttafaq'alaih).
5.    Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam". (Muttafaq alaih).
6.    Beramar ma`ruf dan nahi munkar. Ini juga wajib dilakukan oleh setiap muslim, masing-masing sesuai kemampuannya.
7.    Menunjukkan orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang teraniaya. Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia mempunyai kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan menunjukkan jalan adalah sedekah...." (Muttafaq alaih).
8.    Perempuan hendaknya berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah melihat campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada wanita: "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian menelusuri pinggir jalan. (HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
9.    Tidak ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalan-jalan yang ramai dengan pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolong- menolong di dalam kebajikan. 


Al Qismu Al Ilmi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz 
______________________________________________
Link terkait:
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abullah bin Baaz

Adab Berpakaian dan Berhias


  1.    Disunnatkan memakai pakaian baru, bagus dan bersih.
  2.    Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang shahabatnya di saat beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek : "Apabila Allah Tabaroka wata'ala mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas ni`mat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
  3.    Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
  4.    Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. Karena hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: "Rasulullah melaknat (mengutuk) kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria." (HR. Al-Bukhari).
5.    Tasyabbuh atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.
6.    Pakaian tidak merupakan pakaian show (untuk ketenaran), karena Rasulullah Radhiallaahu 'anhu telah bersabda: "Barang siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari Kiamat." ( HR. Ahmad, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
7.    Pakaian tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena hadits yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu 'anha menyatakan bahwasanya beliau berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya melainkan Nabi menghapusnya". (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).
8.    Laki-laki tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena hadits yang bersumber dari Ali Radhiallaahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya Nabi Allah Subhaanahu wa Ta'ala pernah membawa kain sutera di tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dari umatku". (HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
9.    Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki. Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : "Apa yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain itu di dalam neraka" (HR. Al-Bukhari). –penting- <tilmidzi>
10.    Adapun perempuan, maka seharusnya pakaiannya menutup seluruh badannya, termasuk kedua kakinya. Adalah haram hukumnya orang yang menyeret (meng- gusur) pakaiannya karena sombong dan bangga diri. Sebab ada hadits yang menyatakan : "Allah tidak akan memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang yang menyeret kainnya karena sombong". (Muttafaq'alaih).
11.    Disunnatkan mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya. Aisyah Radhiallaahu 'anha di dalam haditsnya berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di dalam segala perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci'. (Muttafaq'-alaih).
12.    Disunnatkan kepada orang yang mengenakan pakaian baru membaca : "Segala puji bagi Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya kepada-ku tanpa daya dan kekuatan dariku". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
13.    Disunnatkan memakai pakaian berwarna putih, karena hadits mengatakan: "Pakailah yang berwarna putih dari pakaianmu, karena yang putih itu adalah yang terbaik dari pakaian kamu ..." (HR. Ahmad dan dinilah shahih oleh Albani).
14.    Disunnatkan menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan, kecuali bila keduanya dalam keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan itu sedang berihdad (berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di suatu tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya shahih.
15.    Haram bagi perempuan memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya cantik dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam di dalam haditsnya mengatakan: "Allah melaknat (mengutuk) wanita pemasang tato dan yang minta ditatoi, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah". Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan: "Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya". (Muttafaq'alaih). 

Al Qismu Al Ilmi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
______________________________________________
Link terkait:
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abullah bin Baaz

Adab Buang Hajat



  1.    Segera membuang hajat.
  2.    Apabila seseorang merasa akan buang air maka hendaknya bersegera melakukannya, karena hal tersebut berguna bagi agamanya dan bagi kesehatan jasmani.
  3.    Menjauh dari pandangan manusia di saat buang air (hajat). berdasarkan hadits yang bersumber dari al-Mughirah bin Syu`bah Radhiallaahu 'anhu disebutkan " Bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila pergi untuk buang air (hajat) maka beliau menjauh". (Diriwayatkan oleh empat Imam dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
  4.    Menghindari tiga tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat berteduh mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adz bin Jabal Radhiallaahu 'anhu yang menyatakan demikian.
5.    Tidak mengangkat pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu supaya aurat tidak kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu ia menuturkan: "Biasanya apabila Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam hendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya sehingga sudah dekat ke tanah. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dinilai shahih oleh Albani).
6.    Tidak membawa sesuatu yang mengandung penyebutan Allah kecuali karena terpaksa. Karena tempat buang air (WC dan yang serupa) merupakan tempat kotoran dan hal-hal yang najis, dan di situ setan berkumpul dan demi untuk memelihara nama Allah dari penghinaan dan tindakan meremehkannya.
7.    Dilarang menghadap atau membelakangi kiblat, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abi Ayyub Al-Anshari Radhiallahu'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Apabila kamu telah tiba di tempat buang air, maka janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, apakah itu untuk buang air kecil ataupun air besar. Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat". (Muttafaq'alaih).
8.    Ketentuan di atas berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang (WC) atau adanya pelindung / penghalang yang membatasi antara si pembuang hajat dengan kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat.
9.    Dilarang kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), karena hadits yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu buang air kecil di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di situ".(Muttafaq'alaih).
10.    Makruh mencuci kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari Abi Qatadah Radhiallaahu 'anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang dzakar (kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula bersuci dari buang air dengan tangan kanannya." (Muttafaq'alaih).
11.    Dianjurkan kencing dalam keadaan duduk, tetapi boleh jika sambil berdiri. Pada dasarnya buang air kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah Radhiallaahu 'anha yang berkata: Siapa yang telah memberitakan kepada kamu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri, maka jangan kamu percaya, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah kencing kecuali sambil duduk. (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih oleh Al- Albani). Sekalipun demikian seseorang dibolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan pakaiannya aman dari percikan air kencingnya dan aman dari pandangan orang lain kepadanya. Hal itu karena ada hadits yang bersumber dari Hudzaifah, ia berkata: "Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam (di suatu perjalanan) dan ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil sambil berdiri, maka akupun menjauh daripadanya. Maka beliau bersabda: "Mendekatlah kemari". Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di sisi kedua mata kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf-nya." (Muttafaq alaih).
12.    Makruh berbicara di saat buang hajat kecuali darurat. berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Umar Shallallaahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan: "Bahwa sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. sedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi), namun beliau tidak menjawabnya. (HR. Muslim).
13.    Makruh bersuci (istijmar) dengan mengunakan tulang dan kotoran hewan, dan disunnatkan bersuci dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari Salman Al-Farisi Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ia berkata: "Kami dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam beristinja (bersuci) dengan menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang. (HR. Muslim).
14.    Dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: " Barangsiapa yang bersuci menggunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjilkan."
15.    Disunnatkan masuk ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan berbarengan dengan dzikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: "Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila masuk ke WC mengucapkan : "Allaahumma inni a'udzubika minal khubusi wal khabaaits" Artinya, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada syetan jantan dan setan betina".
16.    Dan apabila keluar, mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan : "Ghufraanaka" (ampunan-Mu ya Allah).
17.    Mencuci kedua tangan sesudah menunaikan hajat. Di dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ra. diriwayatkan bahwasanya "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang berada pada sebejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).


Al Qismu Al Ilmi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
______________________________________________
Link terkait:
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abullah bin Baaz

Minggu, 09 Desember 2012

Bid'ah-Bid'ah Seputar Qira'ah

Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid
BEBERAPA BID’AH PARA AHLI QIRA’AH YANG DISEBUTKAN OLEH PARA ULAMA
1. Berlebih-lebihan melafazhkan huruf, bahkan menyalahi cara dan hukum penyebutan huruf karena adanya cara bertajwid yang dibuat-buat dan bahkan dipaksa-paksakan, sehingga meleset dari bacaan yang mudah dan lurus yang sesuai dengan firman Allah:

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا

"Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil" [al-Muzzamil : 4]

2. Membaca al-Qur’an bukan dengan logat Arab.

3. Membaca seperti cara orang fasik dan fajir (durhaka).

4. Membaca dengan nada dan gerakan tertentu. Seperti yang dilakukan oleh sebagian pengikut Tareqat yang membaca dengan iringan tarian/dansa/joget seperti yang dilakukan di halaman masjid al-Husein di Mesir dengan ditonton oleh orang banyak.

5. Membaca dengan cara melagu. Dan bid’ah yang lebih parah dari itu jika bacaan disertai dengan alat musik.

6. Melagu serta banyak mengulang-ulangi laguan.

7. Membaca cepat seperti halnya syair.

8. Membaca dengan cepat tanpa tadabbur (memperhatikan maknanya).

9. Mengangkat suara saat membaca dengan cara yang berlebih-lebihanan. Dan inilah yang menyebabkan timbulnya cara baru yang dibuat-buat saat membaca al-Qur’an, yaitu menempelkan kedua tangan pada kedua telinga ketika membaca al-Qur’an.

10. Duduk melingkar dan bergantian dalam membaca ayat atau surah sampai bacaan selesai. Tetapi cara ini diperbolehkan saat berkumpul untuk belajar al-Qur’an.

11. Membaca al-Qur’an di menara masjid. Ini merupakan tipu daya Iblis terhadap banyak ahli qira'ah, yaitu mereka membaca al-Qur’an di menara masjid pada waktu malam dengan paduan suara yang keras sampai berjuz-juz, sehingga mereka mengganggu dan menghalangi orang lain tidur, sekaligus dapat menjerumuskan diri mereka kepada perbuatan riya’[1] Bahkan di antara mereka ada yang sengaja membaca al-Qur’an di masjid di waktu setelah adzan, karena ini merupakan waktu berkumpulnya orang-orang di masjid.

12. Qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) membaca sambil mengisap rokok, atau membaca al-qur’an di suatu majlis di mana orang-orang yang berkumpul mengisap rokok.

13. Menyibukkan diri dengan cara-cara bacaan yang syadz (nyleneh/aneh/rancu), padahal ini merupakan tipu daya Iblis terhadap mereka. Yaitu mereka menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan seperti ini sehingga menghabiskan waktu dan umur mereka untuk mendalami, mengajarkan serta menyusun buku untuk hal itu, sehingga mereka sibuk dengan urusan qira’ah (bacaan) dan meninggalkan ilmu yang fardhu atau wajib. Sehingga anda terkadang mendapati seorang imam masjid yang sibuk dengan pengajaran cara bacaan yang syadz, padahal dia sendiri belum mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Bahkan terkadang sifat fanatik kejahilannya membuat dia berani dengan cepat tampil berfatwa, tetapi enggan ikut duduk menuntut ilmu di majlis ilmu yang dipimpin oleh ulama. Andaikan orang-orang seperti ini mau berfikir, niscaya mereka mengetahui bahwa yang seharusnya menjadi prioritas tujuan ialah menghafal al-Qur’an serta membenarkan cara bacaan (qira’ah), lalu memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. Kemudian mempelajari ilmu-ilmu yang dapat memperbaiki hati dan akhlaq, serta ilmu-ilmu syari’at yang lainnya. Dan merupakan kebodohan jika seseorang menghabiskan waktunya pada hal-hal yang tidak penting. Al-Hasan Al-Bashariy berkata: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi manusia menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai pekerjaan.” Maksudnya: Mereka hanya mementingkan urusan bacaan tetapi tidak mengamalkan isi Al-Qur’an.

14. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) atau lebih pada satu ayat, di dalam shalat atau di luar shalat di tengah banyak orang. (Cara menbaca seperti ini diperbolehkan saat seorang guru menjelaskan cara-cara bacaan dalam pelajaran tafsir untuk mengetahui maksud setiap bacaan).

15. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan bacaan ayat atau surat tertentu dalam shalat wajib atau selain shalat wajib tanpa dalil, seperti:
a. Membiasakan membaca surah al-An’am pada rekaat terakhir malam ke tujuh bulan Ramadhan dengan meyakini bahwa hal itu disunnahkan.
b. Membaca surah al-Muddatstsir, al-Muzzammil atau al-Insyraah pada malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di shalat Isya’ atau shalat Fajar.
c. Membaca surat yang menyebutkan Nabi Musa Alaihissallam pada shalat fajar hari ‘Asyura.
d. Membaca surah al-Kafiruun dan al-Ikhlash di shalat maghrib pada malam Jum’at.
e. Membaca surah al-Falaq dan an-Naas pada shalat Maghrib pada malam Sabtu.
f. Menggabung ayat-ayat tertentu untuk dibaca secara khusus pada akhir-akhir shalat tarawih.
g. Membaca ayat-ayat yang berisi do’a di malam khatam pada rekaa’at terakhir shalat tarawih setelah membaca surah an-Naas.
h. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) dalam shalat adalah bid’ah, sama hukumnya dengan menggabung dua qira’ah saat membaca di luar shalat.
i. Membaca surah yang di dalamnya ada ayat sajadah selain (Alif Laam Miim –Tanzil- As-Sajdah) pada shalat fajar hari jum’at karena yang disunahkan ialah: membaca pada rekaat pertama (Alif Laam Miim –Tanziil- As-Sajdah) dan (surah al-Insan) pada rekaat kedua.
j. Menggabungkan ayat-ayat yang berisi tahlil (kalimat Laa ilaaha illa Allah) dan membacanya seperti halnya membaca surah.

16. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan membaca suatu ayat atau surah tanpa dalil pada waktu atau tempat tertentu untuk suatu hajat. Seperti:
a. Membaca al-Fatihah dengan niat untuk hajat tertentu atau menghilangkan kesusahan.
b. Membaca surah al-Kahfi pada hari Jum’at untuk orang-orang yang akan shalat Jum’at sebelum memulai khutbah Jum’at dengan suara yang keras.
c. Membaca surah Yaasiin 40 kali dengan niat terpenuhinya suatu hajat.
d. Mengkhususkan bacaan surah al-Kahfi sesudah Ashar pada hari Jum’at di masjid. (Kesalahannya karena mengkhususkan tempat dan waktu).
e. Membaca surah Yaasin saat memandikan mayit.
f. Membaca sepersepuluh dari al-Qur’an (oleh anak-anak dan selain anak-anak) pada malam Maulid.
g. Membaca al-Qur’an di hadapan jenazah atau di atas kubur.
h. Mengharuskan diri untuk senantiasa membaca al-Qur’an saat thawaf.

17. Termasuk bid’ah adalah kebiasaan para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) atau yang mendengarkan bacaannya mengucapkan do’a-do’a atau dzikir-dzikir yang tidak ada nash dalilnya saat membaca suatu ayat atau surah. Seperti:
a. Ucapan mereka setelah membaca al-Qur’an: “al-Fatihah.”
b. Ucapan mereka saat membaca al-Fatihah: “Shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”
c. Ucapan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “al-Fatihah –Ziyaadatan Fii Syarafin Nabiyyi Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
d. Ucapan orang-orang yang mendengarkan bacaan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “Allah, Allah,” atau ucapan-ucapan lainnya yang ditujukan kepada qaari saat ia membaca, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأِذَا قُرِىءَ القُرءَانُ فاَستمعُوا لَهُ وَأنصِتُوا لَعَلكُم تُرحَمُونَ

"Dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat" [al-A’raaf: 204]

e. Membiasakan ucapan: “Shadaqa Allaah ul-‘Azhiim” setelah selesai membaca al-Qur’an.

18. Bid’ah-bid’ah khatam, seperti:
a. Membaca semua ayat-ayat sajadah setelah khatam.
b. Bertahlil empat belas kali.
c. Mengadakan perayaan malam khatam.
d. Khutbah sebelum atau sesudah acara.
e. Saling berjanji untuk khatam.
f. Berteriak saat khatam.
g. Menyalakan api malam khatam

19. Termasuk bid’ah adalah membaca al-Qur’an untuk meminta-minta. Di antaranya dengan cara memutar bacaan kaset Qur’an sambil meminta-minta di gang-gang jalanan dan di toko-toko pasar.

20. Meletakkan kedua tangan di kedua telinga atau satu tangan di sebelah telinga saat membaca al-Qur’an.

21. Tujuh hal yang menyangkut khatam:
a. Penyempurnaan khatam, artinya: makmum membaca semua ayat yang ditinggalkan oleh imam, setelah itu imam kembali membaca semua ayat yang telah ia tinggalkan.
b. Menganggap bahwa disukai mengkhatam qur’an pada sore hari di musim dingin, dan di pagi hari pada musim kemarau.
c. Menyambung satu khatam dengan khatam lain dengan perantaraan/sambungan surah al-Fatihah atau dengan membaca lima ayat dari surah al-Baqarah.
d. Mengulang-ulangi surah al-Ikhlash tiga kali.
e. Bertakbir di akhir surat ad-Dhuha sampai akhir surah An-Naas di dalam shalat atau di luar shalat.
f. Puasa pada hari khatam.
g. Membaca do’a khatam dalam shalat.

TAQLID (MENIRU) SUARA QAARI’
Fitnah (kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan Allah adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan ibadah membaca qur’an . Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi bahwa hal meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat Radhiyallahu 'anhum, tetapi tidak diketahui adanya di kalangan mereka yang bertaqaarub (beribadah) kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dari sini diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak masyru’ (disyari’atkan/diajarkan) sekaligus merupakan sikap mengada-ada dalam persoalan ibadah.

Padahal menurut qaidah syara’ bahwa setiap perkara ibadah yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan.

Hal inilah -pada zaman kita ini- yang membuat banyak orang berdesak-desakan mengerumuni masjid-masjid yang imamnya mempunyai prinsip seperti di atas (meniru suara para qaari’ yang terkenal). Sehingga banyak orang pada bulan Ramadhan yang bepergian dari satu negeri ke negeri lain dengan tujuan shalat tarawih di suatu masjid yang imamnya mempunyai "suara yang bagus".

Coba anda camkan baik-baik hal ini, betapa terinjak-injaknya Sunnah Nabi tentang larangan "sengaja bepergian (ke tempat yang dimuliakan-red) kecuali ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha".[2]

Dan di antara hal yang muncul dari perbuatan tadi:
1. Adanya perasaan tidak senang shalat di belakang imam yang tidak begitu bagus suaranya.
2. Banyaknya orang yang kehilangan khusyu’ dalam shalatnya akibat ketergantungan kepada kebagusan suara.

Dan saya menasehati setiap muslim yang membaca Kitab Allah Ta’ala, khususnya para imam masjid-masjid, agar menghentikan sifat meniru-niru dan taqlid dalam membaca kalam Allah Rabbul-Alamiin. Kalam Allah lebih mulia dan lebih besar nilainya dibanding dengan perbuatan seorang qaari’ dalam melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan secara syar’iy kepadanya.
Allah berfirman tentang perihal sifat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَمَاأَنَا مِنَ المُتَكَلفِينَ

"Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan". [Shaad: 86]

Hendaknya setiap hamba berusaha untuk menghadirkan hati dan memperbaiki niat, sehingga ia membaca al-Qur’an dengan memperbagus suaranya tanpa mengada-ada dan memaksakan diri di luar kemampuannya. Janganlah mengada-ada dengan melagu serta memaksa-maksakan bacaan serta cara baca yang dilarang.

Dan sepantasnya orang-orang yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengangkat imam masjid supaya memilih imam yang lebih memadai keilmuaanya, bertaqwa, bersifat wara’, mempunyai aqidah yang bersih dari penyakit syubhat, mempunyai perangai bersih dari penyakit syahwat, serta lebih mendahulukan yang bersuara baik.

MENGGOYANG-GOYANGKAN KEPALA DAN BADAN SAAT MEMBACA AL-QUR’AN
Yaitu bid’ah kebiasaan orang-orang Yahudi yang biasa mereka lakukan saat mereka belajar, kemudian merembet kepada anak-anak kaum muslimin, pertama-tama di Mesir. Jika mereka membaca al-Qur’an di sekolah, mereka mengerak-gerakan kepala dan melenggak-lenggok. (Seperti yang dijelaskan oleh Abu Hayyan Al-Andalusiy dan Al-Raa’iy Al-Andalusiy).

MEMILIH BACAAN AYAT-AYAT PADA SHALAT JUM’AT YANG SESUAI DENGAN PEMBAHASAN KHUTBAH
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyusun bacaan shalat Jum’at dengan tiga sunnah bacaan:
1. Surah Al-Jumu’ah dan Surah Al-Munafiqun
2. Surah Al-Jumu’ah dan surah Al-Ghaasyiyah
3. Surah Al-‘A-laa (Sabbihisma) dan surah Al-Ghaasyiyah.

Sungguh pada zaman kita ini telah terjadi adanya sikap berpaling sebagian orang dari bacaan yang disyari’atkan ini kepada pilihan pribadi imam, yaitu memilih ayat-ayat atau surah yang menurutnya sesuai dengan thema khutbah.

Cara ini tidak berasal dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak berasal dari pengaalan Salaful-Ummah, sehingga menjadikan cara tadi sebagai suatu kebiasaan pengamalan adalah bid’ah. Begitu pula (jika) dengan niat meninggalkan yang disyari’atkan dan mengamalkan selain yang disunnahkan untuk dijadikan sebagai cara pengamalan yang dianggap sunnah, maka sikap ini dianggap sebagai sikap ingin menyempurnakan syariat (yang seakan-akan belum sempurna), meninggalkan yang masyru’, menganggap cara tadi sunnah serta membuat orang-orang awam terkecoh dengan cara-cara seperti itu, Wallahu a’lam.

MELAFAZHKAN AYAT-AYAT TERTENTU SAAT BERKHUTBAH DENGAN NADA SUARA BERUBAH-UBAH
Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh para penceramah dan sebagian khatib pada zaman ini ialah merubah-ubah suara saat membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk mengatur suaranya saat berceramah atau berkhutbah.

Cara ini tidak dikenal dari ulama-ulama salaf terdahulu, dan juga para ulama yang mempunyai banyak pengikut. Dan anda tak menjumpainya di kalangan ulama-ulama yang mulia yang diakui pada zaman kita, bahkan mereka menghindari cara bacaan seperti ini, dan banyak hadirin yang mendengarkan bacaan itu yang merasa tidak suka. Cara membacanyapun berbeda-beda, dan semua cara yang salah tidak diperhitungkan, sebagaimana tidak diperhitungkannya orang yang menyalahi metode periode awal umat ini dan ulama salaf.

[Ringkasan kitab Bida’ul Qura’ Al-Qadimah wal Mu’ashirah karya Syeikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, diringkas oleh M. Dahri]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Sebagaimana banyak dilakukan di masjid-masjid kaum muslimin di negeri ini, yang mereka membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara masjid sebagai ganti di menara, ini tentulah lebih mengganggu tidur orang lain daripada sekedar membaca di menara. Wallahu Musta’an-Red

Jumat, 07 Desember 2012

Adab Menuntut Ilmu#12 : Berantusias memahami makna yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya


Masalah pemahaman termasuk perkara penting dalam menuntut ilmu. Maksudnya pemahaman seperti yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Pasalnya banyak orang yang diberi ilmu namun mereka tidak diberi kepahaman.

Tidaklah cukup engkau menghafal Al-Qur'an dan menghafal beberapa hadits Rasulullah yang ringan (dalam menghafal) tanpa dibarengi dengan pemahaman. Maka mau tidak mau engkau harus memahami sesuai dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Betapa banyak terjadi kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang. Mereka berdalil dengan nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah) tidak dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya sehingga muncul kesesatan.

Di sini saya ingin menegaskan suatu poin penting, yaitu bahwa kesalahan dalam pemahaman boleh jadi jauh lebih berbahaya dibandingkan kesalahan karena kejahilan (kebodohan). Sebab orang yang berbuat salah lantaran kebodohan dia akan sadar bahwa dia bodoh sehingga dia akan belajar.

Tetapi orang yang pemahamannya salah dia meyakini bahwa dirinya adalah orang pandai yang mencocoki kebenaran. Dia meyakini bahwa inilah yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Kami akan sajikan beberapa contoh agar jelas bagi kila tentang pentingnya pemahaman.

Contoh pertama:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surat Al-Anbiya' ayat 78-79,
وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ. فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
"Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya."

Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutamakan Sulaiman di atas Dawud dalam perkara ini karena pemahaman yang beliau miliki.

"Maka kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman." Tetapi tidak ditemukan kekurangan ilmu (yang dimiliki) Dawud.

"Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu."

Perhatikanlah ayat yang mulia ini tatkala Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Sulaiman yaitu berupa pemahaman. Allah juga menyebutkan keistimewaan yang dimiliki Dawud dalam Firman-Nya, "Dan Kami telah tundukkan gunung-gunung, semua bertasbih kepada Dawud."

Penyebutan tersebut bermaksud agar terwujud keseimbangan (dari segi keistimewaan atau keutamaan) dari tiap Nabi tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan hukum dan keilmuan yang dimiliki oleh keduanya.

Kemudian Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki masing-masing dibanding yang lainnya. Perkara tersebut menunjukkan kepada kita betapa pemahaman memiliki kedudukan yang sangat urgen dan bahwa ilmu bukanlah segalanya.

Contoh kedua:
Apabila engkau memiliki dua bejana, salah satu berisi air hangat sedangkan bejana lain berisi air dingin membeku. Saat itu musim dingin. Lalu datanglah seorang lelaki yang ingin mandi janabat (mandi besar). Ada sebagian orang berkata, yang lebih utama adalah engkau memakai air dingin sebab memakai air dingin terdapat kesulitan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ألا أدلكم على ما يمحوا الله به الخطايا ويرفع به الدرجات ، قالوا بلي يا رسول الله. قال: إسباغ الوضوء على المكاره
"Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat kalian?" Mereka berkata, "Mau, ya Rasululluh." Beliau bersabda, "Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit."18

Maksudnya adalah menyempurnakan wudhu pada musim dingin. Apabila engkau telah menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih utama daripada wudhu dengan air hangat, yang sesuai dengan keadaan cuaca.

Seseorang telah berfatwa bahwa menggunakan air dingin lebih utama. Dia berdalil dengan hadits di atas. Apakah kesalahan tersebut terletak pada ilmunya ataukah pada pemahamannya? Jawabannya, kesalahan itu terjadi pada pemahaman karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إسباغ الوضوء على المكاره
"Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit". Beliau tidak mengatakan, "Engkau pilih air dingin untuk berwudhu." Bedakan kedua ungkapan tersebut. Kalau saja yang diungkapkan dalam hadits tersebut adalah ungkapan kedua, tentunya kita katakan, "Ya, pilihlah air dingin." Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit."

Maksudnya, dinginnya air tidak menghalangi seseorang untuk menyempurnakan wudhu. Selanjutnya kita katakan, "Apakah Allah menghendaki kemudahan atau kesulitan bagi hamba-Nya?" Jawabannya terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (Al-Baqarah: 185)

Dan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
إن الدين يسر
"Sesungguhnya agama itu mudah."19

Saya katakan kepada penuntut ilmu, sesungguhnya perkara pemahaman ini sangat penting. Kita wajib memahami apa yang Allah kehendaki dari para hambanya. Apakah Allah hendak menyulitkan hamba-hamba-Nya dalam pelaksanaan ritual ibadah ataukah Allah menghendaki kemudahan bagi mereka?! Tidak disangsikan lagi bahwa Allah ‘Azza wa jalla menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi kita.

Inilah sebagian adab santun dalam menuntut ilmu. Adab-adab Ini seyogyanya bisa memberikan pengaruh bagi ilmu yang dimiliki seorang pelajar sehingga ia menjadi qudwah (teladan) yang baik dan menjadi da'i yang mengajak kepada kebaikan dan bisa menjadi contoh dalam agama Allah ‘Azza wa jalla. Dengan kesabaran dan keyakinan engkau akan meraih keimaman (kepemimpinan) dalam agama ini. Sebagaimana Firman Allah ‘Azza wa jalla,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24)
____________
Footnote:
18 HR. Muslim dalam Kitabut Thaharah Bab: Fadlu Isbaghil Wudhu ‘alal Makarih.

19 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: Ad-Dinu Yusrun.


Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin [Adab dan Akhlak, Menuntut Ilmu]

Adab Menuntut Ilmu#11 : Tatsabut (meneliti kebenaran) dan Tsabat (konsisten)


Diantara adab yang seorang penuntut ilmu wajib berhias dengannya adalah tatsabut dengan berita-berita yang akan dirujuk. Demikian pula dengan hukum hukum yang akan ditetapkan. Apabila mengambil sebuah berita maka engkau harus mengkonfirmasinya secara teliti lebih dahulu, apakah berita yang kau ambil itu shahih atau tidak. Jika berita itu shahih, jangan lantas engkau menetapkannya akan tetapi periksa dahulu hukumnya dengan teliti.

Boleh jadi berita yang engkau dengar dilandasi suatu kaidah ushul yang tidak engkau ketahui, lantas engkau menghukumi bahwa itu keliru, padahal pada kenyataannya hal itu bukan suatu kekeliruan. Lalu bagaimana solusi situasi semacam ini? Solusinya adalah engkau menghubungi orang yang dinisbatkan sebagai nara sumber berita itu, lalu engkau katakan, "Dinukil dari anda (berita) ini dan itu, apakah ini benar?" Setelah itu engkau berdialog langsung dengannya. Boleh jadi pada awalnya engkau tidak menyukai karena engkau tidak mengetahui sebab penukilannya. Sehingga,
إذا علم السبب بطل العجب
"Jika diketahui sebab, hilanglah keheranan (kebingungan)."

Maka terlebih dahulu harus dilakukan tatsabut (terhadap sumber berita), baru kemudian menghubungi sumber berita itu. Engkau tanyakan kepadanya apakah berita itu benar atau tidak, setelah itu berdiskusi dengan orang itu. Bisa jadi dia yang benar maka engkau bisa merujuk kepadanya atau bisa jadi engkau yang benar sehingga dia bisa merujuk kepadamu.

Ada perbedaan antara Tsabat dan tatsabut. Secara lafadz dua kata ini memiliki kemiripan, namun berbeda dari segi makna.

Tsabat maknanya sabar dan tekun, tidak merasa jemu, tidak gelisah dan tidak mengambil sedikit-sedikit dari setiap kitab atau sepotong-potong dari setiap disiplin ilmu lalu meninggalkannya. Karena hal ini (justru) akan merugikan penuntut ilmu itu sendiri. la menghabiskan waktu tanpa mendapat satu manfaat. Contohnya, sebagian penuntut ilmu membaca pembahasan ilmu nahwu, kadang dia membaca Al-Jurumiyah, kadang membaca kitab Qatrunada, kadang membaca kitab Al-Alfiah. Demikian pula dengan pelajaran Al-Musthalah (ilmu istilah-istilah hadits), sesekali membaca An-Nukhbah, sesekali membaca Al-Alfiah Al-Iraqi.

Demikian pula dalam masalah fiqih, sesekali membaca Zaadul Mustaqni, sesekali membaca Umdatul Fiqih, sesekali membaca Al-Mughni dan sesekali membaca Syarah Al-Muhadzab. Demikian seterusnya pada seluruh kitab (padahal belum ada yang diselesaikan secara tuntas).

Orang tipe ini sering kali tidak akan memperoleh ilmu. Kalaupun memperolehnya, ilmu yang diperoleh adalah ilmu masa'il (yang berkaitan dengan pembahasan masalah/kasus) bukan dalam hal ushul (konsep dasar ilmu). Dan perolehan berbagai permasalahan bagaikan orang yang mengumpulkan belalang satu demi satu.

Jadi, ta'sil (pengambilan konsep dasar ilmu), keteguhan serta kemantapan pada suatu ilmu adalah sesuatu yang penting, lebih mantap dalam hubungannya dengan kitab yang dibaca dan di-muraja'ah. Demikian juga lebih mantap dalam hubungannya dengan para syaikh yang engkau ambil ilmunya.

Janganlah engkau menjadi pencicip ilmu (yang mengambil ilmu sepotong-potong) pada tiap pekan sekali atau sebulan sekali dari seorang syaikh. Tentukan terlebih dahulu syaikh (guru) yang akan engkau timba ilmunya. Setelah engkau mengambil keputusan maka sabar dan tekunilah. Janganlah engkau mengambil syaikh lain pada setiap bulan atau pekan. Sama saja apakah engkau ambil syaikh itu dalam pelajaran fiqih dan terus kontinyu belajar bersamanya dalam pelajaran fiqih, (engkau belajar) dengan syaikh yang lain dalam pelajaran nahwu dan terus bersamanya dalam pelajaran nahwu.

Atau dengan syaikh lainnya dalam pembahasan aqidah dan tauhid dan terus belajar bersamanya. Hal yang penting, hendaknya engkau terus belajar dan jangan hanya menjadi sekedar pencicip (berbagai macam ilmu), seperti halnya seorang lelaki yang hobi cerai. Setiap kali menikahi seorang wanita setelah hidup bersamanya 7 hari, kemudian dia mentalaknya dan pergi mencari wanita lain.

Tatsabut juga merupakan perkara yang penting, sebab terkadang orang yang menukil berita mempunyai kehendak yang tidak baik. Dia menukil suatu berita yang dapat mencemarkan nama baik orang yang diambil beritanya baik dengan sengaja atau dengan tendensi tertentu. Terkadang mereka tidak berniat jahat namun mereka memahaminya dengan sesuatu yang berbeda dengan makna yang diinginkan. Oleh karena itu wajib tatsabut.

Apabila sesuatu yang dinukil tersebut telah tsabit dengan penyebutan sanadnya maka sampailah giliran untuk berdiskusi dengan orang yang menukilkannya sebelum menghukumi pernyataan tersebut, apakah hal itu benar atau tidak. Sebab boleh jadi akan tampak kebenaran bagimu setelah dilakukan diskusi, bahwa kebenaran berada di pihak orang yang dinukil ucapannya.



Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin [Adab dan Akhlak, Menuntut Ilmu]