(Maksud dari) al-hikmah adalah seorang penuntut ilmu selayaknya menjadi pengayom bagi orang lain dengan akhlak dan budi pekerti yang ia tampilkan dan membina orang lain dengan ajaran Islam. Dia berkomunikasi dengan berbagai tipe manusia disesuaikan dengan situasi dan kondisi mereka. Jika telah menempuh cara ini kita akan meraih banyak kebaikan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
Al-Hakim (orang yang arif dan bijak) bisa menempatkan berbagai perkara sesuai tempatnya. Sebab kata 'al-hakim' diambil dari kata 'al-ihkam' yang bermakna sempuma. Melakukan sesuatu secara sempurna adalah dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya (secara tepat). Oleh karena itu selayaknya bahkan wajib hukumnya bagi seorang penuntut ilmu menjadi orang yang arif dan bijaksana dalam mengemban misi dakwah. Allah telah menyebutkan beberapa tingkatan dalam berdakwah dalam firman-Nya,
Allah menyebutkan tingkatan cara dakwah yang keempat dalam membantah Ahlul Kitab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Seorang penuntut ilmu memilih metode-metode dakwah yang paling memungkinkan untuk bisa diterima (oleh obyek dakwah). Contoh hal tersebut bisa ditemui pada jejak dakwah Rasulullah. (Suatu saat) datang seorang Arab Badui lalu ia kencing di salah satu bagian masjid. Maka para shahabat mendekati dan membentaknya, namun Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang mereka. Tatkala orang Badui tersebut telah selesai dari kencingnya Nabi pun memanggil dan bersabda kepadanya,
Atau sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Apakah kamu pernah melihat cara yang lebih baik dari hikmah seperti ini? Orang Badui ini pun menjadi lapang dadanya dan merasa puas, sehingga dia berkata,
Kisah yang lain (diriwayatkan) dari Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami dia berkata,
"Ketika saya sedang shalat bersama Rasulullah maka ada seorang yang bersin lalu saya ucapkan Yarhamukallah' (semoga Allah merahmatimu). Maka orang-orang pun mengarahkan pandangan mereka kepadaku. Saya katakan, "Duhai ibuku kehilangan aku, ada apa kalian melihatku?" Mereka lalu menepuk tangan ke paha-paha mereka. Ketika aku melihat mereka menyuruh aku diam, akupun diam. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam selesai shalat - dengan bapak dan ibuku! - sungguh aku belum pernah melihat seorang pengajar pun yang lebih baik pengajarannya dari beliau shallallahu ‘alahi wa sallam. Demi Allah beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak mencelaku. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
Dari sini kita dapati bahwa dakwah kepada Allah harus dilakukan dengan cara hikmah sebagaimana yang telah Allah ‘Azza wa jalla perintahkan.
Contoh lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya (cincin emas hukumnya haram dipakai oleh laki-laki). Maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mencabut cincin itu dari tangannya dan melemparkannya. Beliau pun bersabda,
Tatkala Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah pergi ada seseorang berkata kepadanya, "Ambillah cincin itu dan manfaatkanlah." Maka ia berkata, "Demi Allah, saya tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.”
Metode pembimbingan yang tersirat pada hadits ini (sifatnya) lebih keras. Sebab setiap keadaan mempunyai peringatan yang sesuai dengan kondisi tersebut. Demikianlah, setiap orang yang berdakwah kepada Allah seyogyanya bisa menempatkan berbagai hal pada tempatnya (yang sesuai). Dan hendaknya ia tidak memukul rata kondisi semua orang. Maksudnya adalah agar hal yang bermanfaat dapat tercapai.
Coba kita perhatikan keadaan kebanyakan juru dakwah masa sekarang ini. Kita jumpai sebagian mereka terbawa semangat sehingga banyak orang lari menjauh dari seruan dakwahnya. Apabila ia menemui ada orang yang melakukan perbuatan haram maka engkau akan dapati da'i tersebut menegurnya dengan cara kasar dan keras sambil berkata, "Apakah engkau tidak takut kepada Allah!"
Atau mengucapkan ungkapan-ungkapan yang serupa dengan itu sehingga orang yang ditegur menjadi phobi darinya. Ini tindakan yang tidak baik. Sebab tindakan tersebut akan direspon dengan tindakan yang sebaliknya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan penjelasan tatkala beliau menukil ucapan Imam Asy-Syafi'i tentang pandangan beliau terhadap Ahli Kalam.
Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
"Jika manusia melihat orang-orang tersebut (Ahli Kalam) ia akan dapati bahwa mereka pantas menerima apa yang dikatakan Imam Asy-Syafi'i dari satu sisi. Tapi, kalau dia melihat mereka dari sudut pandang taqdir dan kelabilan, sesungguhnya setan telah mengungkung dan mengalahkan mereka, maka ia pun akan trenyuh dan kasihan pada mereka. Ia akan memuji Allah sebab Dia telah menyelamatkannya dari musibah yang telah menimpa mereka. Mereka mempunyai kecerdasan tapi tidak diberi kesucian, mereka diberi pemahaman tapi tidak diberi ilmu, mereka diberi pendengaran, penglihatan, dan hati tapi semua itu tidak berguna sedikitpun."
Demikianlah, seyogyanya bagi kita wahai saudara-saudara seiman untuk melihat para pelaku kemaksiatan dengan dua kacamata yaitu kacamata syari'at dan kacamata taqdir. (Dengan) kacamata syari'at, kita tidak terhalangi oleh celaan orang yang suka mencela dalam menjalankan perintah Allah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang lelaki dan perempuan yang berzina,
Kitapun melihat mereka dengan kacamata taqdir, maka kita akan merasa kasihan dan trenyuh melihat mereka. Kitapun hendaknya bermuamalah (berinteraksi) dengan cara yang kita pandang sebagai cara yang paling dekat untuk tercapainya sasaran dan hilangnya hal yang tidak kita sukai.
Inilah diantara sekian pengaruh dari seorang penuntut ilmu yang (keadaannya) berbeda dengan orang jahil (bodoh) yang memiliki semangat tanpa diimbangi dengan ilmu. Seorang penuntut ilmu wajib menjalankan misi dakwah kepada Allah dengan cara hikmah.
Footnote:
11 HR. Muslim dalam Kitabul Masajid wa Mawadhi'ush Shalat Bab: Tahrimul Kalam fi Shalat (Larangan Berbicara saat Shalat).
12 HR. Muslim dalam Kitabul Libas Bab: Tahrimul Khatami Dzahab 'ala Rijal (Haramnya Cincin Emas bagi Laki-laki).
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin [Adab dan Akhlak, Menuntut Ilmu]
0 komentar:
Posting Komentar